Main Article Content

Abstract

Penelitian ini dilakukan di Desa Tejakula, Buleleng. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok, dengan lima perlakuan ransum dan empat kelompok berat badan sehingga terdapat 20 unit percobaan. Kelinci-kelinci dialokasikan secara acak kedalam lima perlakuan, yaitu kelinci-kelinci yang mendapat Perlakuan P0: Ransum tidak menggunakan limbah wine anggur terfermentasi dan non fermentasi (Ransum Kontrol), P1: menggunakan 5% limbah wine anggur terfermentasi, P2: menggunakan 10% limbah wine anggur terfermentasi, P3: menggunakan 5% limbah wine anggur non fermentasi dan P4 : menggunakan 10% limbah wine anggur non fermentasi. Ransum dan air minum diberikan secara ad_libitum. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa performa kelinci jantan lokal yang diberikan ransum dengan tambahan limbah wine anggur terfermentasi dan non terfermentasi sampai level 10% (P1, P2, P3 dan P4) menunjukan hasil yang lebih tinggi dari perlakuan ransum kontrol (P0). Variabel karkas juga menunjukan hal yang sama yaitu (P1, P2, P3 dan P4) menghasilkan karkas lebih tinggi dari pada ransum kontrol (P0). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa performa dan karkas kelinci jantan lokal tidak menunjukan perbedaan.

Keywords

limbah wine anggur fermentasi performa karkas

Article Details

References

  1. Abarghuei, M. J., Y. Rouzbehan and D. Alipour. (2010). The influence of the grape pomace on the ruminal parameters of sheep. Livestock Science, 132, 73–79.
  2. Alhaidary, A., H.E. Mohamed and A.C. Beynen. (2010). Impact of Dietary Fat Type and Amount on Growth Performance and Serum Cholesterol in Rabbits. American J. of Animal and Veterinary Sciences 5(1): 60-64.
  3. Aberle, E. D., C. J. Forest, H. B. Hedrick, M. D. Judge dan R.A. Merkel. (2001). The Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Co. San Fransisco.
  4. Basuki, P., (2002). Dasar Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Bahan Ajar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
  5. BPS. (2013). Produksi Buah Anggur di Kabupeten buleleng. Badan Pusat Statistik Kabupeten Buleleng. (serial online) [cited 2015 Jul 8]. Available from: http:/www.buleleng.bps.go.id.
  6. Bram Brahmantiyo dan Y.C. Raharjo. (2009). Pengembangan Pembibitan Kelinci Di Pedesaan dalam Menunjang Potensi dan Prospek Agribisnis Kelinci. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Verteriner. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Hal 688-691.
  7. Cunningham, M., and D. Acker. (2001). Animal Science and Industry. 6th edition. Prentice Hall. New Jersey
  8. Dewi, S.H.C., Edi, P.,M. Djalil. (2012). Produksi karkas dan non karkas kelinci lokal pada umur dan jenis kelamin berbeda. (prosiding): Membangun ketahanan pangan berbasis kearifan lokal untuk menopang perekonomian rakyat. Yogyakarta,12 September 2012. Seminar nasional Fakultas Agro Industri, Universitas Mercu Buana.
  9. Dwiyanto, K., R. Sunarlin and P. Sitorus. (1985). Pengaruh Persilangan terhadap Karkas dan Preferensi Daging Kelinci Panggang. J. Ilmu dan Peternakan. 1(10):427-430
  10. Ensminger, M.E., J.E. Oldfield and W. Heinemann. (1990). Feed Nutrition. 2nd Ed, the Ensminger Publishing Co., Clovis.
  11. Hartadi, H., Kustantinah, Zuprizal, E. Indarto, N.D. Dono., (2008). Nutrisi dan Pakan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
  12. Lukefahr, S.D., W.D. Hohenboken, P.R. Cheeke, N.M. Patton and W.H. Kennick. (1981). Carcass and Meat Characteristics of Plemish Giant and New Zealand White Purebreed and Terminal – Crossbred Rabbits. J. Of Appl, Res. 4(3): 66-72.
  13. Mastika, I.M. (1991). Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian serta Pemanfaatannya untuk Makanan Ternak. Makalah Pengukuhan Guru Besar Ilmu Makanan Ternak Pada Fakultas Peternakan UNUD-Denpasar.
  14. McNitt, J.I., N.M. Nephi, S.D. Lukefarh and P.R.Cheeke. (1996). Rabbit production. Interstate Publishers, Inc.p. 78-109
  15. Moote, P., J. Church, K. Schwartzkopf-Genswein, and Van Hamme. (2012). Effect of fermented winery waste supplemented rations on beef cattle temperament, feed intake, growth performance and meat quality. Submitted Article, Kamloops, BC, Canada: Thompson Rivers University.
  16. NRC. (2001). Nutrient Requirement of Rabbits. National Academy of Sciences, Washington, D.C
  17. Nugroho, H. (1982). Beternak Kelinci Secara Modern. Penerbit Eka Offset, Semarang.
  18. Nuriyasa, M. (2012). “Respon Biologi Serta Pendugaan Kebutuhan Energi dan Protein Ternak Kelinci Kondisi Lingkungan berbeda Di Daerah Dataran Rendah Tropis”(disertasi). Program Pasca Sarjana. Universitas Udayana. Denpasar.
  19. Parakkasi, A., (1999). Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press. Jakarta.
  20. Rasyaf, M. (1996). Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta.
  21. Rihi, J.L. (2004). Produksi karkas dan kualitas fisik daging kelinci lokal yang diberi kosentrat dengan level protein berbeda. Buletin Peternakan 28 (2): 65-71
  22. Sartika, T. and Y.C. Raharjo. (1991). Pengaruh Berbagai Tingkat Serat Kasar Terhadap Penampilan, Persentase Karkas pada Kelinci Rex. (prosiding). Seminar Nasional Usaha Peningkatan Peternakan dan Perikanan. Vol. 1. Bidang Peternakan. Badan Penerbit Univ. Diponogoro, Semarang.
  23. Siregar, S., (1994). Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.
  24. Soeparno. (2005). Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
  25. Steel, R.G.D. and J.H.Torrie. (1991) .Principle and Procedure of Statictic.McGrow Hill Book Bo.Inc,New York.
  26. Suradi, K. (2005). Potensi dan peluang Teknologi Pengolahan Produk Kelinci. (prosiding) Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Pusat Penelitian dan pengembangan Peternakan.Badan penelitian dan pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung 30 September 2005
  27. Voisinet, B. D., T. Grandin, J.D. Tatum, S.F. O’Connor and J.J. Struthers. (1997). Feedlot cattle with calm temperaments have higher average daily gains than cattle with excitable temperaments. Journal of Animal Science, 75, 892– 896.